Masih Relevankah Musyawarah untuk Mufakat?

Oleh PUSREFIL

Mencermati perilaku kita dalam menjalin interaksi sosial sesama warga bangsa membuat kita mengurut dada. Persoalan hidup yang semakin menghimpit dipecahkan dengan mengandalkan kebenaran yang diyakini masing-masing individu dan kelompok sempit. Akibatnya, kebenaran-kebenaran yang bermacam-macam berhadapan secara frontal untuk berikutnya bertarung, sekali pun, hingga titik darah penghabisan. Maka, tak heran pertanyaan yang amat kontekstual adalah “Di manakah musyawarah untuk mufakat?”. Pertanyaan ini akan tetap relevan sepanjang kita belum menjiwai demokrasi kita dengan benar.

Musyawarah untuk mufakat bagaikan romantisme nilai pilar demokrasi. Dulu ketika para pihak menghadapi masalah, mekanisme pertama yang dilakukan adalah membicarakan dengan pihak yang terlibat masalah. Betapapun peliknya potensi konflik, terdapat kesadaran di antara para pihak untuk mengedepankan musyawarah. Lalu, muara yang dituju adalah mufakat. Kini mekanisme itu ditinggalkan.

Tak dapat dimungkiri bahwa ketika itu (Orde Baru) terdapat penggiringan dan bahkan represi agar setiap konflik harus melalui tahapan musyawarah untuk mufakat. Sehingga, formalitas musyawarah untuk mufakat kian lama kian menjadi ritual kosong nilai. Lama-lama orang merasa bahwa mekanisme tersebut merupakan verbalisme dan menjadi gaya rezim tertentu. Manakala rezim itu telah ambruk, maka terban pula nilai-nilai yang melandasinya.

Globalisasi yang dimaknai dangkal juga memperparah tipisnya minat orang untuk bermusyawarah. Globalisasi yang dilihat permukaannya saja oleh beberapa pihak menjadikan orang-orang tertentu memaknai bahwa globalisasi adalah memperluas loyalitas politik dari kepada negara menjadi kepada dunia (global). Perasaan sebagai warga dunia ini menafikan ketaatan kepada negara beserta konsekuensi ideologisnya. Ujung-ujungnya terjadilah “sindrom hidup di perantauan”, terlepasnya ikatan-ikatan nilai lama yang dirasa membelenggu sementara nilai baru diperlakukan standar ganda. Jika nilai baru itu menguntungkan, maka akan digunakan. Namun tidak, jika terjadi sebaliknya.

Sayangnya, unsur lain yakni konteks pergantian rezim dari represif ke reformatif (liberal?) menawarkan peluang kepada masyarakat kita untuk ikut pesta globalisasi tanpa urunan infrastruktur yang memadai. Alih-alih menjadi aktor penentu yang penting dalam kancah global, malahan menjadi konsumen tanpa daya dari agenda tersembunyi di balik hingar bingar globalisasi itu. Kebebasan baru yang diembuskan angin reformasi menggoda pemenuhan kebutuhan-kebutuhan baru yang makin hari makin banyak dan mendesak. Gelontoran informasi melalui media massa tentang perilaku konsumtif ikut andil memanas-manasi suasana, sementara daya dukung—daya beli, daya adaptasi, dan daya seleksi—amat lemah.

Satu faktor lain yang turut berperan meredupnya nilai musyawarah untuk mufakat adalah sistem politik dan sosial yang kurang menghargai penahapan-penahapan suatu kemajuan sosial. Dalam sistem ini orang tidak dididik bahwa kemajuan memerlukan pengorbanan. Hal yang ada adalah menikmati keberhasilan secepat mungkin, walaupun dengan cara yang diharamkan berbagai norma. Tak mengherankan manakala orang keranjingan dengan segala hal yang berbau instant.

MASIH RELEVANKAH MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT?

Barangkali sebagian orang kini sinis mendengar kalimat musyawarah untuk mufakat. Mereka tak memberikan lagi tempat bagi mekanisme ini. Mungkin mereka memiliki pengalaman pahit ketika mencoba bermusyawarah untuk mufakat. Hanya saja, mereka lupa demokrasi tanpa musyawarah untuk mufakat akan menjadi ajang perseteruan kepentingan terus-menerus.

Dalam pertarungan kepentingan tanpa adanya musyawarah, pihak-pihak yang memunyai sumberdaya yang kuat berpeluang menang untuk kemudian menindas yang lemah. Bukan itu saja, pihak yang lemah pun pada gilirannya mencari cara-cara kasar untuk memenangkan perseteruan tersebut. Si lemah ini merasa pernah dipecundangi di masa lalu, sehingga pada saatnya tak akan mau mengalami terulangnya hal yang sama. Kalau cara-cara yang digunakan adalah mekanisme demokrasi melalui musyawarah, maka mereka tahu akan kalah. Oleh sebab itu, di sini akan terjadi kemacetan komunikasi yang empatis.

Komunikasi empatis menenggang perasaan pihak lain. Penghargaan kepada diri sendiri sama pentingnya dengan penghargaan terhadap orang lain. Karena, penghargaan seperti itu akan membuahkan harmoni hidup berdampingan dengan pihak lain. Beban hidup akan terasa lebih ringan, jika dipikul bersama. Andaikan dalam berinteraksi terjadi konflik, masyarakat yang berpedoman komunikasi empatis tidak mencari kemenangan mutlak, melainkan akan mengutamakan kemenangan bersama. Di sini musyawarah untuk mufakat adalah cerminan dari komunikasi empatis. Kalau demikian, relevansi musyawarah untuk mufakat akan bermakna seiring dengan usaha-usaha masyarakat dalam menegakkan demokrasi.*** [HE715]

Posted on 21/04/2012, in Uncategorized. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment